Oleh : Ansyori Ali Akbar|Sabtu,19 April 2025
(Penikmat kopi Tanpa Gula)
Mentari sore menyisakan ufuk barat Pulau Sumatra, namun di pedalaman Way Haru, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, hanya gelap yang menyelimuti. Gelapnya bukan hanya karena senja, melainkan gelapnya nasib, gelapnya harapan, gelapnya masa depan. Di sinilah, di antara hamparan lumpur yang tak bertepi dan deburan ombak yang mengancam, terukir kisah pilu yang mengiris kalbu, kisah perjuangan hidup dan mati yang tak pernah usai, tragedi kemanusiaan yang bagai duri yang menusuk-nusuk hati nurani.
Bayangkan: udara pengap menyesakkan dada, seperti ribuan tangan tak kasat mata yang mencekik. Matahari membakar kulit, bagai bara api yang tak pernah padam. Seorang peratin Pekon (kepala desa), Rudi Meilano, terbaring lemah tak berdaya karena sakit. Bukan di ranjang empuk rumah sakit, melainkan di atas tandu seadanya, sebatang bambu dan kayu lapuk yang menjadi pengganti tempat tidur terakhir, bagai peti mati yang dibawa menuju peristirahatan terakhir.
Enam jam lamanya, tubuhnya yang ringkih diusung warga, menempuh perjalanan 15 kilometer yang bagaikan perjalanan menuju alam baka, sebuah perjalanan yang setiap langkahnya dibayangi maut. Jalan berlumpur yang menjebak, sungai yang mengamuk bagai raksasa haus darah, dan pantai yang ganas siap menerjang, menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Setiap langkah kaki adalah pertaruhan nyawa, setiap tetes keringat adalah air mata keputusasaan yang perlahan mengikis harapan, bagai tetesan air laut yang mengikis karang. Bayangan kematian membayangi setiap langkah, mengancam untuk mengakhiri perjalanan panjang menuju pertolongan.
Way Haru, bersama tiga pekon (desa ) tetangganya – Way Tias, Bandar Dalam, dan Siring Gading, terkurung dalam isolasi yang mencekik, bagai kurungan tanpa pintu di tengah samudra luas. Puluhan ribu jiwa hidup dalam keterbelakangan, jauh dari sentuhan pembangunan yang merata. Akses jalan yang layak hanyalah mimpi yang tak pernah terwujud, terhalang oleh status kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), bagai tembok tak terlihat yang memisahkan mereka dari dunia luar. Berkali-kali permohonan izin diajukan, namun hanya menghasilkan janji-janji kosong yang menguap ditelan angin, bagai debu yang tertiup angin kencang. Pemerintah seakan tuli dan buta terhadap jeritan mereka, terlalu sibuk dengan pembangunan di kota-kota besar, pembangunan yang merata hanyalah slogan kosong, bagai fatamorgana di padang pasir.
Bukan hanya Rudi Meilano yang merasakan nestapa ini. Setiap warga Way Haru berulang kali menghadapi risiko yang sama. Bayangkanlah seorang ibu yang harus menggendong bayinya yang sakit, berjalan kaki berjam-jam di tengah hujan dan badai, hanya untuk sampai ke puskesmas terdekat, bagai seorang pejuang yang bertempur melawan alam yang kejam. Bayangkanlah seorang kakek renta yang harus dibopong oleh cucunya yang masih kecil, menyeberangi sungai yang deras dan berbatu, dengan harapan tipis untuk bisa mendapatkan pertolongan, bagai lilin yang hampir padam. Setiap detik adalah pertaruhan nyawa, setiap langkah adalah perjuangan melawan maut, sebuah pertarungan melawan takdir yang kejam.
Setiap malam, di bawah langit gelap yang hanya diterangi cahaya bintang dan bulan, warga Way Haru menempuh perjalanan yang penuh bahaya. Arus sungai yang deras, ombak laut yang ganas, dan jalan yang gelap gulita menjadi tantangan yang harus mereka hadapi. Nyawa mereka dipertaruhkan setiap saat, namun mereka tetap berjuang demi keselamatan sesama. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang setiap harinya berjuang melawan keterbatasan dan keputusasaan, bagai pahlawan tanpa mahkota.
Peratin Bengkunat Pekon Way Haru, Dian Setiawan, menceritakan dengan pilu kejadian yang berulang ini. Suaranya bergetar dan lirih di tenggorokan mencerminkan keputusasaan yang mendalam. Ia dan warga lainnya terus berharap akan adanya solusi dari pemerintah, sebuah jalan yang layak yang dapat menghubungkan mereka dengan dunia luar. Harapan yang sederhana, namun terasa begitu jauh untuk diraih, bagai bintang di langit malam yang tak terjangkau.
Kisah Way Haru bukanlah sekadar cerita tentang keterisoliran. Ini adalah jeritan hati nurani, sebuah tragedi kemanusiaan yang harus segera dihentikan. Ini adalah cerminan nyata kesenjangan pembangunan di Indonesia. Di tengah gempita pembangunan infrastruktur dan digitalisasi yang seringkali dibanggakan, masih ada saudara-saudara kita yang hidup dalam keterbelakangan, berjuang mati-matian hanya untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak. Way Haru merintih, memohon uluran tangan, agar pembangunan tak hanya menjadi slogan, melainkan nafas kehidupan bagi mereka yang terpinggirkan. Semoga kisah ini menjadi pelajar bagi kita semua, untuk bersama-sama menciptakan Indonesia yang lebih adil dan merata, Indonesia yang tak melupakan saudara-saudaranya yang tertinggal. Semoga sayap-sayap harapan segera membentang di atas Way Haru, membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik, sebuah kehidupan yang layak dan bermartabat, sebuah kehidupan yang bebas dari penderitaan.