Hampir sama, diungkapkan Evi, pemilik resto Bali Indonesia, yang berlokasi strategis dekat dengan kantor Markas Besar PBB, Palais des Nations, Jenewa. Evi mengaku restorannyi sudah kembali ramai pengunjung.
Di tempatnyi pengunjung sudah bisa kembali bergoyang lidah nikmati masakan Indonesia, dengan menu andalan gado-gado, nasi Bali, nasi Padang, dan laksa, sejenis mi berbumbu campur asal kebudayaan Peranakan, elemen Tionghoa, dan Melayu. “Makanan kami ini juga cocok dengan lidah orang asing, non Indonesia. Konsumen kami pun lebih dari 80 persen ialah warga negara asing,” terang Evi.
Keterangan Evi taklah berkelebihan. Seperti menguatkan, biasanya orang asing di Swiss yang ditemui, menyukai dan menanyakan menu nasi goreng, rendang, sate, dituturkan sejawat Evi, pemilik resto Sendok Garpu, Vivi.
Kepada Dubes, Vivi juga curhat soal kendala usahanyi seperti tantangan mendatangkan chef profesional dari Indonesia, pengadaan logistik bumbu cukup mahal, dan kebutuhan manajer restoran.
Selama pandemi, pengusaha resto Indonesia di Jenewa tetap layani pesanan take-away atau delivery, lakukan promosi media sosial, dan memulai usaha katering pernikahan. Demikian bagian rilis KBRI Bern 8 Juni 2021.
Menanggapi perbincangan, Dubes bilang kita (Indonesia) perlu belajar dari Thailand. Soal, bagaimana pemangku kepentingan di negeri asal Pad Thai, street food khas Negeri Gajah Putih berisikan campuran tumisan mi beras, telur, tahu, saus ikan, dan udang tersebut, dalam upaya membantu keberlangsungan ribuan restoran Thailand di luar negeri.
Dubes kelahiran Bekasi, Jawa Barat, 3 April 1960 itu menyambut baik keinginan para pengusaha makanan tersebut melakukan promosi kuliner Indonesia agar terus eksis, kompetitif dan terkenal di Swiss. Janjinya, KBRI akan mencari solusi terbaik terhadap tantangan dihadapi. Selain dinamika bisnis, ikut dibahas potensi masuknya produk kuliner RI ke salah satu ritel terbesar Swiss.