Oleh: Basri Subur
Menunggu dalam diam, berharap dalam sepi. Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata, tapi cermin dari perjalanan batin yang saya jalani bertahun-tahun lamanya. Di tengah riuhnya dunia, saya lebih banyak memilih diam. Bukan karena saya tak punya suara, tetapi karena saya tahu, tidak semua suara didengar, dan tidak semua harapan berujung pada kepastian.
Saya adalah seorang pria setengah baya, yang mungkin oleh sebagian orang dianggap ketinggalan zaman. Dalam dunia yang serba cepat, serba instan, dan penuh kompromi, saya justru memegang teguh prinsip hidup yang telah saya yakini sejak muda: kejujuran, kesetiaan pada nilai, dan keberanian untuk berkarya dan berkata tidak pada hal yang melanggar nurani.
Seringkali, hidup menuntut kita untuk memilih berdiri teguh atau ikut arus. Banyak yang memilih jalan mudah, mengikuti angin, berganti wajah demi kenyamanan sesaat. Tapi saya tidak bisa. Saya tidak mau. Prinsip bukan hanya soal benar atau salah, tapi soal harga diri, soal bagaimana kita ingin dikenang bagai apa, sebagai siapa.
Namun, prinsip tidak selalu membawa pada kemudahan. Justru seringkali ia membawa pada kesepian. Saya menunggu dalam diam, berharap dalam sepi. Menunggu orang-orang sadar, bahwa ketulusan lebih berharga dari keuntungan, bahwa integritas lebih bermakna dari sekadar pencitraan. Saya menanti, mungkin bukan untuk diri saya sendiri, tapi untuk generasi yang akan datang, agar mereka tahu, bahwa masih ada orang-orang yang memilih untuk tidak menyerah pada keadaan.
Dalam sunyi itu, saya sering merenung. Melihat bagaimana dunia berubah. Saya tidak anti perubahan, tapi saya percaya, tidak semua perubahan itu baik. Kita butuh pegangan, kita butuh kompas moral. Dan prinsip-prinsip itu adalah kompas yang menuntun saya melewati hari-hari penuh tantangan.
Saya tahu, tidak semua orang akan memahami jalan yang saya tempuh. Tidak semua orang bisa mengerti, mengapa saya tetap memilih bersikap tegas, walau tahu akibatnya adalah kesendirian. Tapi saya percaya, dalam menunggu dan berharap, selalu ada makna. Menunggu bukan berarti pasrah. Berharap bukan berarti lemah. Justru di sanalah terletak kekuatan, kekuatan untuk bertahan, untuk tetap setia pada nurani.
Dunia boleh berubah, orang-orang boleh datang dan pergi, tapi prinsip adalah warisan batin yang tak boleh luntur. Saya akan terus menunggu, dalam diam, berharap dalam sepi, sampai waktunya tiba. Sampai dunia kembali membuka mata, bahwa keteguhan adalah bentuk cinta paling murni kepada kebenaran.
Dan pada akhirnya, saya hanya ingin dikenal sebagai seseorang yang tak pernah berpaling dari jalan yang ia yakini, walau harus berjalan sendirian.