Menulis di Tengah Kekosongan

Menulis di Tengah Kekosongan
MESUJI PROFIL & SOSOK

Oleh: Mihsan, Wartawan Mesuji | Senin, 14 April 2025

Di balik tajamnya pena yang mereka gunakan untuk menulis kebenaran, ada perut yang sering kosong. Ada anak-anak yang menunggu pulang ayahnya dengan harapan bisa jajan. Ada istri yang terus berdoa agar sang suami pulang membawa kabar baik, bukan sekedar berita dari lapangan.

Wartawan, mereka yang kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi, justru berada di urutan paling belakang dalam hal kesejahteraan. Mereka bekerja tanpa pamrih, mengejar berita dari pagi hingga malam, menantang panas, hujan, bahkan bahaya, demi menyampaikan informasi kepada publik. Tapi apakah publik, apalagi pemerintah, benar-benar melihat mereka?

“Profesi wartawan ini mulia,” kata banyak orang. Tapi di balik kata-kata itu, realitas yang dihadapi sangat berbeda. Penghasilan yang tak menentu, bahkan terkadang tak sebanding dengan ongkos bensin atau segelas kopi di warung. Wartawan yang semestinya bisa hidup layak, justru harus memutar otak agar bisa bertahan hidup.

Mihsan, seorang wartawan lokal Mesuji, mengungkapkan keprihatinannya. “Kami bukan mencari kaya, kami hanya ingin cukup. Cukup untuk hidup, cukup untuk mendidik anak-anak kami, cukup untuk tetap bisa menulis tanpa dihantui kebutuhan dapur,” ujarnya lirih.

Ia berharap pemerintah daerah tidak hanya menuntut kerja wartawan untuk membangun citra positif dan menyebarkan informasi program, tapi juga hadir memberikan dukungan nyata. Bentuknya bisa beragam, dari langganan koran, kerja sama advertorial, hingga tunjangan sederhana untuk media lokal agar terus bisa hidup dan berkembang.

“Jika kami terus disuruh menulis tanpa diberi cukup daya untuk hidup, siapa lagi nanti yang akan menyuarakan kebenaran?” lanjut Mihsan.

Pena mungkin kecil dan murah, tapi di tangan wartawan, ia mampu mengguncang dunia. Sayangnya, pena itu kini mulai goyah, bukan karena tinta yang habis, tapi karena tangan yang lelah dan perut yang lapar.

Wartawan bukan mesin pencetak berita. Mereka manusia. Mereka ayah, ibu, anak, yang juga ingin bahagia. Dan selayaknya manusia lain, mereka juga ingin hidup layak. Bukan sekedar dikenang karena tulisannya, tapi dihargai karena perjuangannya.

“Karena tulisan tak akan pernah mati. Tapi penulisnya bisa mati pelan-pelan, jika terus diabaikan.”

Editor : Basri Subur

Loading