Kisah Orang Desa Mengadu Nasib  Ke Kota Dengan Berjualan Lontong Sayur

OPINI DAN PUISI

Lampung Utara, lampungvisual.com
Waktu masih menunjukkan pukul 07.40 Wib, diiringi panasnya mentari yang nampak dipelupuk mata bersinar terang. Tepatnya berada di Badarco arah tugu pendidikan, Kotabumi pasar, Kecamatan Kotabumi nampak wanita paruh baya ditemani anak berumur sekolah dasar sibuk melayani pembelinya. Berjualan diatas trotoar dengan dua bakul besar yang dibuat dengan kotak kayu  dengan panggulan disisinya nampak rapi berjejer yang menjajakan jajanan khas sarapan pagi.
Yakni lontong sayur, dibawah gubuk beratapkan asbes dan berselimutkan terpal berwarna biru dengan bagian depan terbuka tanpa pintu. Berbeda dengan yang ada kebanyakan, bukan lontong yang dibungkus dengan plastik es atau daung pisang. Yang membuatnya berbeda adalah memakai ketupat, berjejer rapi diatas etalase beralaskan bakul kotak kayu gendongan.
Ibu itu adalah Hani, pegadang lontong sayur dengan ketupat mengaku rela mengadu nasib di pusat Ibu Kota Kabupaten tertua di Lampung itu. Meninggalkan kampung halaman di Desa Talangbojong, Kecamatan Kotabumi Selatan hanya untuk memperbaikki hidupnya dan keluarga. Ia mengaku tidak mau pergi merantau sampai di seberang pulau hanya untuk mengadu nasib.
“Ya mau bagaimana lagi mas, di desa kan susah cari penghidupan makanya kami kesini. Dari pada mati menunggu disana, lebih baik kita mengadu nasib disini dari pada jauh, “kata dia, Jumat (27/6/2019).
Menurutnya, panganan yang dijajakannya sejak 2013 lalu terinspirasi dari sang suami. Yang pernah tinggal merantau di pulau Jawa, hingga diwujudkan dalam kehidupan nyata. Kudapan ketupat dengan kuah lodeh khas lontong sayur.
“Dari situlah timbul ide, kenapa tidak menjual ketupat dengan kuah lodeh atau yang biasa digunakan untuk kudapan lontong sayur. Awalnya suami saya punya ide mau berdagang panganan ini di Jakarta atau sekitarnya. Tapi pikiran saya,kenapa harus diluar kalau disini laku maka kami putuskan berdagang disini, “tambah wanita khas dengan logat sundanya itu. Yang kebetulan suami memang berasal dari Bandung Jawa Barat.
Dengan berbekal modal seadanya ia menjalankan usaha dengan menyewa tempat kosong dibuatkan gubuk. Hani mengaku apa yang dilakukan saat ini adalah meneruskan pekerjaan suami, yang sebelum dipanggul keliling kampung. Sementara sang suami ada pekerjaan sampingan, dialah yang kini menjual secara menetap dengan menumpang lahan kosong disana.
“Jadi memang ini awalnya dipanggul suami dijajakan keliling kampung, karena kebetulan dia ada pekerjaan makanya saya menunggu dengan menumpang tempat, “tambahnya.
Hani pun bercita-cita ingin memiliki warung permanen dengan tembok-tembok disekelilingnya seperti pedagang makanan lain yang lebih mapan. Namun dengan kondisi ekonomi keluarga harus menunda, sampai semua terkumpul.
“Alhamdulillah kak, kalau dari pagi sekitar pukul 6.30 buka habis sekitar pukul 8.30. Lumayanlah omsetnya, Rp 200 ribu – Rp 300 ribu kotor. Itung-itung buat nambah pemasukan keluarga, “ujarnya.
Mereka yang membeli pun berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari pedagang di Pasar Lama, pekerja, ASN sampai polisi rela mengantri untuk menikmatinya. Selain harganya bersahabat, panganan tersebut jarang ditemui sehingga banyak peminatnya.
“Cukuplah nikmatnya kalau rasa dan harganya, pas dengan kantong. Yang unik adalah lontong digunakan sebagai bahan utamanya yang berbeda, serasa seperti lebaran terus karena menggunakan ketupat, “ujar pembeli yang mengenakan pakaian ASN Dinas Lingkungan Hidup lengkap hari olah raga.
Penulis  : Andrian Folta
Editor    : Susan

 1,552 kali dilihat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.