“Pembangkit hydro PLN ahlinya, sejak tahun 1960-an kami bangun PLTA. Masalah investasi kami masih bisa atasi. Tetapi di Mamberamo ada bentang alam, bentang budaya, dan bentang sosial politik yang kami tidak paham,” ujarnya.
Menurut Darmawan, kehadiran PLTA dengan skala besar di Bumi Cendrawasih ini sangat penting bagi pengembangan pembangkit energi baru terbarukan di Indonesia. Saat ini, pengembangan pembangkit EBT masih terkendala mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.
Sebagai informasi, energi termurah saat ini berasal dari batu bara hanya memakan biaya sebesar USD 5-6 sen per kilo Watt hour (kWh). Sedangkan energi dari panas bumi membutuhkan biaya sekitar USD 9-13 sen per kWh, PLTA harganya juga mulai dari USD 8-13 sen per kWh.