Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momen krusial dalam demokrasi di Indonesia. Ini adalah saat di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan mengarahkan daerah mereka selama beberapa tahun ke depan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Pilkada sering kali diwarnai oleh fenomena yang mengkhawatirkan: calon kepala daerah dengan pengalaman karir yang belum memadai namun berhasil menonjol berkat kekuatan nepotisme dan doktrin program yang seakan berhasil.
Nepotisme dalam konteks pemilihan kepala daerah berfungsi sebagai praktik politik yang memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh untuk memengaruhi proses pemilihan. Penggunaan kekuasaan dan pengaruh ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan partai politik dan individu lainnya bagi calon yang memiliki hubungan dengan mereka, seperti anggota keluarga atau kroni. Praktik ini mengabaikan proses kaderisasi dan meritokrasi dalam partai politik, sehingga calon yang tidak memiliki rekam jejak atau kualifikasi yang sesuai dapat dipilih. Dengan demikian, nepotisme merusak sistem seleksi berbasis kompetensi yang seharusnya menjadi dasar pemilihan calon kepala daerah.
Nepotisme juga menggunakan strategi koersif dan hegemonik untuk membangun kekuasaan dan menguasai elit-elit birokrasi dan politik. Melalui pendekatan ini, nepotisme dapat mengatur dan menguasai semua proyek yang ada, mengabaikan kriteria ideal yang berbasis kinerja dan rekam jejak calon pejabat publik. Praktik ini membuat proses pemilihan menjadi tidak profesional dan tidak transparan, karena kekuatan nepotisme lebih mengutamakan hubungan pribadi daripada kapasitas dan integritas calon. Selain itu, strategi koersif dan hegemonik sering kali disertai dengan kekerasan dan konspirasi, mengabaikan pendapat masyarakat dan konstituen partai. Ini mengingatkan kita pada gerakan tali asa yang melarajut langkah semakin menggema di sudut desa hingga belantara kota dalam satu cita mengharap mata sang tuna karya seakan melihat pelita.
Lebih jauh lagi, nepotisme mengabaikan larangan hukum yang mengatur korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga praktik ini dapat dilakukan tanpa hukuman yang efektif. Dengan menggunakan strategi oligarkis dan konspiratif, nepotisme menguasai elit-elit birokrasi dan politik, mengabaikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan. Akibatnya, proses pemilihan menjadi tidak jelas dan tidak dapat dipantau. Nepotisme juga mengabaikan pilihan rakyat dan memanfaatkan kekuasaan serta pengaruh untuk memengaruhi proses pemilihan, sehingga proses ini menjadi tidak demokratis dan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Analoginya seperti burung gereja yang selalu menempati tempat yang tinggi, seakan berada di puncak tanpa harus berusaha, para calon kepala daerah yang diuntungkan nepotisme hanya menempati posisi mereka tanpa kerja keras dan kompetensi yang sebenarnya. Kualitas pemimpin seperti ini pada akhirnya hanya akan membawa masyarakat ke dalam kegelapan, seperti mata sang tuna karya yang mengharapkan pelita namun hanya menemukan kegelapan yang sama.
Salah satu contoh yang mencolok adalah bagaimana beberapa calon kepala daerah yang berasal dari keluarga politisi atau pejabat tinggi sering kali memiliki akses lebih mudah ke sumber daya kampanye dan media. Mereka dapat memanfaatkan jaringan yang telah dibangun oleh anggota keluarga mereka untuk menggalang dukungan, meskipun mereka sendiri mungkin tidak memiliki pengalaman yang cukup di bidang pemerintahan atau administrasi publik.
Doktrin program yang seakan berhasil juga memainkan peran penting dalam fenomena ini. Banyak calon yang mengandalkan program-program populis yang menarik perhatian masyarakat, namun belum tentu realistis atau dapat direalisasikan dengan baik. Program-program ini sering kali disusun dengan tujuan utama untuk memenangkan hati pemilih, tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjang atau keberlanjutannya. Doktrin ini didukung oleh narasi dan kampanye yang kuat, yang sering kali mengaburkan fakta dan menciptakan harapan palsu di kalangan pemilih.
Misalnya, janji-janji pembangunan infrastruktur yang megah atau penyediaan layanan publik yang serba cepat dan efisien sering kali digunakan sebagai umpan kampanye. Namun, setelah terpilih, banyak kepala daerah yang gagal merealisasikan janji-janji tersebut karena kurangnya perencanaan yang matang dan pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Akibatnya, masyarakat yang awalnya berharap banyak merasa kecewa dan merasa dikhianati.
Solusi untuk masalah ini tidaklah sederhana. Diperlukan reformasi sistemik yang memastikan bahwa proses seleksi calon kepala daerah lebih transparan dan berbasis meritokrasi. Keterlibatan masyarakat dalam menilai track record dan kompetensi calon juga perlu ditingkatkan. Media massa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat berperan penting dalam memberikan informasi yang objektif dan mendidik pemilih mengenai pentingnya memilih berdasarkan kompetensi, bukan hanya popularitas atau koneksi politik.
Selain itu, penegakan hukum terhadap praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan harus diperkuat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu lebih proaktif dalam mengawasi dan menindak pelanggaran dalam proses Pilkada. Ini termasuk memonitor aliran dana kampanye dan memastikan bahwa semua calon mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Dalam jangka panjang, pendidikan politik bagi masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu memahami betapa pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan memiliki visi yang jelas untuk pembangunan daerah. Hanya dengan demikian, kita dapat berharap bahwa Pilkada akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerah mereka.
Kesimpulannya, Pilkada adalah momen penting dalam demokrasi Indonesia yang seharusnya menjadi ajang pemilihan pemimpin yang terbaik dan paling kompeten. Namun, fenomena nepotisme dan doktrin program populis yang menyesatkan sering kali mengaburkan proses ini. Reformasi sistemik, penegakan hukum yang ketat, dan pendidikan politik yang berkelanjutan adalah langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa calon kepala daerah yang terpilih benar-benar memiliki kemampuan dan integritas yang dibutuhkan untuk memimpin.
Penulis: Z.M Situmorang
Editor: YP