Janji yang Mengambang, Luka yang Tenggelam

Janji yang Mengambang, Luka yang Tenggelam
OPINI DAN PUISI

Oleh: Basri Subur | Senin, 14 April 2025

Saat hidup terpuruk dan langit rasanya tak lagi memayungi, di situlah kita merasakan siapa yang sungguh peduli dan siapa yang hanya hadir saat senyum kita masih terpampang. Batin, hati, jiwa, dan raga ini terasa hancur perlahan, bukan karena badai besar yang tiba-tiba datang, tapi karena janji-janji yang dulu pernah terucap, kini hanya jadi gema yang tak pernah kembali.

Rintihan ini bukan keluhan, melainkan jeritan sunyi dari kepedihan yang sudah terlalu lama dipendam. Dulu, aku percaya pada kata-kata manis yang datang bersamaan dengan pelukan hangat. Aku percaya bahwa ketika aku jatuh, tangan-tangan yang biasa menepuk punggungku akan hadir mengangkatku. Nyatanya, yang tersisa hanyalah bayangan. Yang terdengar hanya gema janji yang tak kunjung ditepati.

Setiap kata penghibur yang dulu terasa tulus, kini seperti hampa. Kosong. Hanya jadi pengisi waktu, bukan penawar luka. Aku menunggu, berharap pada secercah kepastian, namun yang datang hanyalah kehampaan. Seperti awan yang berarak tanpa arah, aku berjalan dengan dada yang sesak oleh rasa pilu. Terlalu sering berharap, akhirnya aku belajar menerima bahwa tidak semua yang dekat akan bertahan, dan tidak semua yang menjanjikan akan menepati.

Mereka yang dulu tertawa bersamaku, kini bahkan tak menoleh ketika aku menunduk. Mereka yang dulu memanggil namaku saat senang, kini tak peduli saat namaku hanya tinggal bisikan doa. Kepergian mereka bukan dengan langkah, tapi dengan sikap. Bukan karena jarak, tapi karena hilangnya kepedulian.

Kini aku pasrah. Aku berserah. Sebab pada akhirnya, hanya Tuhan yang tak pernah meninggalkan. Hanya kepada-Nya aku bisa mencurahkan segalanya, tanpa takut dihakimi, tanpa takut ditinggal. Luka ini mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat, tapi aku tahu, dalam diam dan doa, aku masih punya kekuatan untuk bertahan.

Jika hidup adalah ujian, maka inilah bab tersulit yang harus kutaklukkan. Dengan air mata sebagai tinta, dan kesabaran sebagai pena, aku menulis lembar demi lembar perjalanan ini. Meskipun pahit, aku percaya, pasti ada makna di balik semua luka yang kuderita.

Loading